Prolog
Episode 1
Episode 2
Episode 3
Episode 1
Hari ini adalah hari sabtu, harinya para murid gembira karena waktunya libur sekolah. Tapi tidak jika kamu salah satu anak bangunan yang memiiki tugas gambar tapi tidak memiliki komputer sepertiku. Maaf saja, aku hanya punya laptop, dan itu sudah terbakar. Terbakar karena beratnya me-render tugas gambar.

Gambar di sini bukan lagi gambar manual, melainkan gambar perangkat lunak dengan sofware berat bernama AutoCad, Sketchup, dan ArchiCad.

Laptop yang dibutuhkan juga harus yang standar grafis. Tapi laptopku tidak memenuhi kriteria tersebut. Dan bodohnya aku paksakan menginstal software tersebut. Dan jadilah laptopku meledak di tengah kegiatan anak-anak yang sedang fokus menggambar.

Saat itu, hatiku terasa lumpuh dengan bagaimana aku menjelaskan kondisi laptop itu ke kekakku. Dan teman-temanku, bukannya panik, mereka justru bersorak heboh karena ada hiburan dadakan. Khususnya yang cowok. Brengsek emang.

Dan kali ini, adalah hari-hari menjelang UAS ganjil, sialnya, tidak ada hari tanpa tugas gambar. Maka libur pun tidak ada bedanya bagiku.

Aku berjalan santai menaiki tangga, menuju studio gambar yang ada ruang lab computer di dalamnya.

Di grup chat, kita janjian jam 8, tapi ketika aku sudah tiba di studio, ternyata,

Zhooonkk ...

Tidak ada satu pun yang hidup di sini. Biasa, kelakuan negara ber-flower. Janji jam 8, datang jam 9. Lalu ujung-ujungnya ngobrol panjang dan baru dimulai satu jam setelahnya. Nah ini nih yang aku tidak suka. Masalah ulur-ulur waktu. Uh!

Lab Computer masih dikunci, artinya sang ketua kelas belum hadir karena kuncinya ada di dia. Aku memutuskan keluar, memilih kantin sebagai tujuan. Dan untungnya, kantin masih ada yang buka.

"Halo, Bu Irene?!" Aku menyapa salah satu warung kantin langgananku. Dia Bu Irene, mama muda yang bekerja keras demi menghidupi satu anaknya.

Benar, dia sudah janda ditinggal suami yang sebetulnya sangat kaya raya. Siapa, ya, namanya? Kalau tidak salah Kim Suho.

"Eh, Neng Jia, sendirian nih?"

"Biasalah, Bu, anak-anak pada ngaret." Aku tersenyum kala Bu Irene ber-oh kecil seraya mengikat seluruh rambutnya membentuk cepolan besar. Setelah itu, Bu Irene mengangkat dan menuangkan galon ke dalam dispenser. Aku melongo oleh aksinya. Dia benar-benar kuat.

"Pesen apa nih? Yang biasa?" Bu Irene bertanya sambil mengusap tangannya pada apron merah yang ia pakai. Dia kelihatan lelah sekali, anak rambutnya banyak yang menjuntai lepek.

"Nggak deh. Pengen yang antimainstrem nih. Apa, ya, Bu?"

"Oseng cicak?"

"Ibu jual?"

"Enggak, dong." Bu Irene nyengir.

"Sa ae si ibu nih."

Beliau tertawa renyah, "Maaf, ya, Neng. Baru buka jadi sibuk deh," katanya seraya menghampiri etalase kaca di depanku.

"Udah, es chocolatos sama nasi goreng boncabe aja."

"Level?"

"Lho?"

"Mau yang level berapa?"

"Ada levelnya juga toh?"

"Ya ada dong, Neng."

Aku mengangguk-angguk, mengerti, lalu bertanya, "Umm ... Biasanya Anna suka level berapa, Bu?"

Selama makan di kantin, aku sering memesan seblak dan es jeruk, lalu temanku, Anna akan selalu makan nasi goreng boncabe, dan disitulah aku dibuat penasaran. Cara dia menikmati nasi goreng boncabe suka menular. Ngiler dong aku.

"Oh, dia mah tiap hari level 15 terus, neng."

"Lima belas tuh pedes nggak ya? Belum pernah nyoba boncabe nih."

"Waduh, ibu juga nggak pernah tuh. Gimana, ya?"

"Yaudah, sok in aja dah. Daripada penasaran."

"Oke, deh. Tunggu ya, Neng." Aku mengangguk cepat, lalu bu Irene sigap mengeluarkan jurus 1000 bayangannya. Ia lincah ke sana kemari, menggoreng tempe, memasak lauk, menyeduh minum sembari membuatkanku pesanan. Walau Bu Irene hanya satu, tapi di mataku, dia seperti sedang memerankan ninja dari konoha. Apa itu namanya? Ninjutsu yang suka dipakai Haechan, buncin?

"Sibuk banget si Ibu nih!" Tapi jujur, dia keren. Dan aku ... Mengagumi sosoknya.

"Kalo diem bae ya kagak dapet duit, Neng."

Aku mengangguk, "Yang jualan Bu Irene doang? Ke mana anaknya, Bu?" tanyaku, meraih sedotan merah untuk kumainkan benda plastik itu.

"Molor dia di rumah."

"Yaah, sayang dong. Padahal pengen ajak bercanda."

Anak yang kubicarakan dengan bu Irene adalah kak Taeyeong. Akhir-akhir ini aku agak dekat dengan dia. Dia itu tipikal anak yang berbakti kepada orang tua, tidak malu meski ibunya berdagang di area sekolahnya. Emang dasarnya orang baik dia tuh.

Di hari libur seperti ini biasanya dia sarungan sambil membantu menggoreng tempe dan bakwan. Tapi entahlah dia, padalah aku ingin tanya-tanya seputar Kak jaehyun. Sekedar info, Kak Taeyeong satu kelas dengan Kak jaehyun. Dan dia sudah pro padaku.

Untuk beberapa saat, aku hanya terdiam menunggu pesanan datang, tepatnya duduk manis di kursi panjang tanpa sandaran.

Karena bosan menunggu, akhirnya kubuka aplikasi WhatsApp untuk mengoprak-oprak para penghuni grup kelas.

TGB Dream Ahohoooyyyy

Aku
Jen!
Kamu ketua kok telat?
Kunci bengkel di kamu loh ya!!

(Read. 15 menit kemudian)

Aku
Jeno!
JENO!
JENOOO!!

Haechan
Santuy dong woi
Nggak usah ngegas ...

Aku
🔪🔪🔪

Haechan
Uwuu🌈🌈🌈

Mark
Ngapa dah si Jia

Aku
Pura-pura lagi
Ini sampe kapan ngaretnya!

Mark
Oh gitu.

Haechan
Gaes!
Hari ini nggak ada polisi kan yak?

Mark
Lo naik motor, Chan?

Haechan
Iya dong

Mark
Nebeng ya.
Aku setir

Chenle
Jangan. Jangan.
Jangan
Jangan
Jangan
Jangan
Jangan
Jangan
Jangan
Jangan

Renjun
Duh jangan deh

Lucas
Jangan, Nak
Sayang nyawa
Dont dont dont pokoknya

Mark
Kenapa deh kalian
Meragukan huh!!!!?

Haechan
Iya nih ogah!
Tabrak tiang yang ada.

Mark
--______--

Chenle
Wkwkwk
Nah loh
Ngambek dia

Aku
Kalian tuh ya!
Bales WA gercep tapi ke sekolah aja lelet.

Haechan
Kalem dong mbaknya
Lagi ngevlog di yutub.
Maaf dong
Nggak bisa diganggu gugat.

Mark
Orang baru bangun geh.

Chenle
Lagi mandi duit nih permisyah...
Belum yang emasnya

Haechan
Ngeri dong mandi emas :'D
Wkawokawok

Lucas
Sorry audience, aku bakal late

Aku
Muncul deh alasannya.
Ini yang cewek ke mana dah?

Mark
Summon @Anna @Rara @Sua
Wahai ciwi-ciwi ... Datanglah

Haechan
Ahohoooooyyy ...

Chenle
Wohohooyyyy ...

Lucas
EYYA EYYA EYYA

Renjun
Gabut dih.

Jeno
Oi oi oii
Gue up!!
Maaf Jia.
Baru kelar mandi sambil cuci kaos kaki nih.

Haechan
Akhirnya. Akhirnya. Akhirnya.

Mark
Yang dicari mbak Jia nongol juga

Aku
Gamau tau!
Otw.
Sekarang.
Buru.

Segera kumatikan benda hitam ini, lalu memasukkannya ke dalam slim bag berwarna abu millikku. Maaf saja. Sudah malas dengan mereka.

Akhirnya pesananku datang, senyum dan terima kasih reflek kugumamkan.

Entah karena sedang sebal atau posisiku yang sedang pms, aku spontan menyeruput kuat-kuat minuman hingga sedotan pun nampak gepeng. Dan setelah benar-benar habis, aku sedikit menyesal karena makananku bahkan belum tersentuh. Nanti seret, aku harus minum apa?

"Bu Irene, es chocolatos lagi ya. Bocor nih." Aku nyengir sedang bu Irene  terkekeh.

Aku menyendok nasi goreng yang nampak sangat merah di depanku, aku mengernyit karena baunya. Pedes deh, kayanya. Jujur, aku tidak suka pedas, tapi aku sedang tidak peduli.

Namun belum sempat kumakan, tiba-tiba saja pundakku dicengkram kuat oleh seseorang, lalu ditarik paksa ke belakang. Otomatis aku berteriak kaget karena takut jatuh terjungkal. Tapi untungnya tubuhku ditahan kala hampir menyentuh lantai. Sendokku sudah jatuh, meninggalakan bunyi nyaring. Nasi pun ikut berceceran di lantai dan bajuku.

Mataku yang terpejam perlahan terbuka, dan belum sempat bernapas lega, aku sudah dibuat geram usai tahu siapa biang keroknya.

Si cowok kemarin sore.

"Kaget, ya?" tanya dia datar. Kami saling bersitatap dengan aku yang memegang erat lengannya. Masih takut jatuh. "Seru, nggak?"

"INI TOLONG TARIK DULU DAH!!" Aku murka dengan dia yang seolah hal ini bukan apa-apa. Dan ketika aku dibangkitkan kembali dari posisi ekstrim tadi, aku segera berbalik, menggeplak, dan meninju lengan dia. Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali dan tentu saja dengan sekuat tenaga.

Tapi bukannya mengaduh kesakitan, dia justru hanya begeming dan mengusap-usap santai jejak kemarahanku.

"Alus dikit napa jadi cewek."

"Kamu alus dikit napa sama cewek!" Aku mendengus sebal usai membentaknya, "jantungan tahu!"

"Liat, kamu kotor."

"Ya makanya jangan jail!!"

"Gue nggak jahil."

"Yang kayak tadi nggak jahil?"

Dan bukannya menjawab, dia justru terdiam dengan tangan tersimpan di saku celana. Pakaian dia cukup santai. Kaos putih yang bagian depannya dimasukkan ke celana jins hitam robek. Namun ada yang beda dengan penampilannya, anak ini memakai kacamata bulat berbingkai tipis. Dan saat kuamati lagi, kutemukan lehernya berkalung perak dengan bandul tengkorak. Astaga.

"Apa liat-liat!!!"

"Dih, kok ngegas?!" Hidungku berkedut, alisku bertaut. Dan lama-kelamaan, tatapan kesalku berubah waspada kala dia berjalan mengitari meja, lalu duduk tepat di depanku.

"Nih." Dia menyodorkanku cokelat. Tentu saja aku kebingungan. Tidak tahu mengapa dia melakukan ini semua. Maksudku, kita bahkan belum saling kenal. Dan kita tidak dalam masa harus saling mengenal. "Makan!"

"Kok tiba-tiba?"

"Ini enak."

"Nggak nanya dih."

"Cepet dah dimakan!!"

"Kok jadi maksa?"

"Lo nggak suka?"

"Apa itu kurang jelas?"

"Jadi lo nggak suka."

"Ya iyalah. Nggak ada cewek yang suka sama cowok pemaksa. Cowok itu harusnya lembut, nggak kayak gini."

"Bukan itu."

"Lah terus apa? Apa nya? Apaan sih!!?"

"Cokelatnya. Lo nggak suka?"

Seketika itu pula aku menggeplak jidatku sendiri. Kenapa kesannya aku bucin sekali? Dan kenapa pula aku harus terjebak dengan orang seperti dia?

"Nggak mau? Gue buang nih."

"Kamu ngefans ya sama aku? Ngikutin mulu."

"Yaudah gue buang."

"Woy, kamu tuh siapa! AW!!"

Tisu sekaligus kotak-kotaknya mendadak dilempar tepat di wajahku. Tidak sakit sih, kaget iya. Aku menatapnya bengis, "Apa nih maksudnya?"

"Lo kotor. Harus dikasih tisu!"

Fiks! Dia autis!!!

"Denger, LO pergi, apa GUE yang pergi?!"

Dia tidak menjawab, anak itu sengaja menuli, dan malah pura-pura sibuk membuka bungkus coklat tadi.

"Ck, punya telinga nggak sih lommmmpptt!!"

Dan kejadian itu terjadi begitu cepat. Lelaki bersurai hitam ini menjejeliku sepotong cokelat lalu dia meraih piringku, memakan nasi goreng itu dengan sangat lahap. Untuk beberapa menit, aku terhenyak.

Apalagi kala tahu dia mulai berkeringat dan bibirnya yang nampak mulai membengkak. Aku tahu dia kepedasan. Dan aku tahu dia sengaja menahan rasa pedasnya. Entah dia terlalu jaim atau emang egonya yang selangit, dia menolak saat kutawari es chocolatosku. Dia ini batu sekali. Membuatku gemes saja.

"Minum geh! Jangan dipaksain, nanti sakit perut."

"Lo jangan sekali-kali makan pedas kalo nggak suka pedes."

"Woy minum woy!! Itu kamunya kepedesen nggak usah ceramah dulu!!"

"Ini bukan apa-apa. Gue masih bisa tahan."

"Nggak ada yang peduli, Goblok!! GUE BLANG MINUM YA MINUM!!!"

Dan setelah kubentak dan kupaksa berhenti makan, dia akhirnya mau minum juga. Heran deh, nggak bisa makan pedes saja kebanyakan gaya.

Namun satu yang baru kusadari. Anak itu terlihat semakin kepedasan.

Anjir! Bodoh sekali kamu, Jia. Itu air es, astaga! "Maaf, maaf, aku lupa. Kamu tunggu sebentar."

Aku berjalan di mana bu Irene berada. "Bu bu bu bu ... bu Irene air anget dong buru. Ada yang sekarat nih."

Aku tidak tahu kenapa suasananya menjadi kacau. Dia yang kepedasan tapi aku yang panik. Sialan!






Bersambung ...
© Putri Auliya Safitri,
книга «TEMPERAMEN».
Коментарі