Prolog
Episode 1
Episode 2
Episode 3
Episode 3
Hari ini adalah hari minggu. Seperti biasa, aku akan lari pagi bareng kakakku di alun-alun. Harusnya sih begitu, tapi tidak setelah dia mendadak terserang demam karena kemarin hujan-hujanan di depan rumah tetangga, berlutut dan berdiam diri sepanjang malam. Entah apa yang dia pikirkan, tapi sepertinya aku tahu.

Pertengkaran sahabat yang mengelak saling cinta. Euh, menggelikan.

Begitulah kakakku, pria dewasa berusia 25 tahun, wajah alim tapi kelakuannya miring. Jika bertemu dia, kuharap kalian tidak tertipu oleh ketampanannya.

"Eweekk ... "

Aku mendengus kala mendapati kakak tersedak usai meneguk pilnya, lalu berlari ke kamar mandi dan ... muntah. Dia sukar dengan air, tidak tahu kenapa, dia sudah seperti itu sedari lahir, harus memakai pisang agar cepat tertelan. Dan sekarang tidak ada pisang. Dan dia sakit tidak bilang-bilang.

"Lemah!" Kupijati leher dia yang sedang mengeluarkan isi perut ke dalam kloset. Aku kasihan juga sebenarnya. "Sia-sia deh makan nasgor."

"Bikinin bubur dong, dek?!"

"Kakak mau keracunan?" Bukan apa, tapi aku memang tidak bisa memasak. Nasi goreng yang tadi kakak makan saja buatan dia sendiri.

"Makanya kali-kali belajar masak. Jangan bucinin si Jaehyun Jaehyun itu teru---AWWW!!"

Aku reflek meremas kulit lehernya, bahu Kak Chanyeol terangkat karena geli sekaligus sakit. Maaf, tapi itu emang sengaja. "Aku geh dilawan!"

Tok tok tok

Pintu utama diketok, ada tamu!

"Iya, tunggu sebentar." Aku segera beranjak, meninggalkan Kak Chanyeol sendiri di dalam kamar mandi.

Tok tok tok

"Iya, bentar, Kak Yoona." Jangan tanya kenapa aku tahu siapa orang di balik pintu, tetangga mana lagi yang mau bertamu di pagi buta seperti sekarang? Niat dia kamari saja aku tahu. Apa lagi kalau bukan merawat si katanya sahabat itu. Dasar, bikin gemas saja. Kenapa mereka tidak jadian lalu menikah?

Aku membuka pintu dan mempersilahkan Kak Yoona masuk. Oh, dia juga bawa bubur. Dan itu hanya satu. Pasti dong untuk kak Chanyeol, siapa lagi?

Aku reflek menghela lega. Syukurlah, kakak masih bisa melanjutkan hidupnya.

"Kok tahu kak Chanyeol sakit?"

"Firasat aja."

Aku ber-oh kecil tanpa suara. "Kak Chanyeol lagi collapse di atas. Samperin langsung aja gih."

Kak Yoona mengangguk, "Makasih, Dek Jia," lalu tersenyum. Dia sangat cantik. Sayang sekali hidupnya harus dipepet Kak Chanyeol terus. Dia pasti menderita.

Aku jadi prihatin.

"Ih, apa deh! Siapa tadi yang dukung mereka pacaran terus nikah? Uh!" gumamku. Aku tersenyum geli. Labil emang.

Aku sendiri memilih masuk ke kamar, berganti pakaian untuk lari pagi. Tidak apa sendiri, sudah biasa juga. "Kaakk ... izin keluar. Mau jogging. Kakak jangan ngerokok lagi. Kasian Kak Yoona."

Lalu melenggang tanpa harus menunggu dia menjawab. Dan aku pikir kak Chanyeol tidak akan menjawab.



Jadi di sinilah aku, sedang mengayuh sepeda dengan keranjang penuh bunga. Benar, bunga mawar.

Mawar putih dari orang aneh kemarin. Tadinya ingin aku buang. Tapi sayang, jarang-jarang kan ada orang yang rela kasih bunga ke orang jones macam aku?

Dih, jadi baper, kan?

Setelah 30 menit, akhirnya aku sampai di alun-alun, aku memarkirkan sepeda kesayanganku di parkiran bawah pohon. Jika ada kakak, pasti kita memakai motor jaguarnya, boncengan lalu berlari bersama. Dan sekarang, rutinitas ini harus kujalani sendiri.

"Semoga saja kakak cepet sembuh."

Aku menghela lemah, kurapikan sedikit celana training dan tali sepatuku. Aerphone kupasang, hodie putih pun tidak kulewatkan. Dingin. Masih gelap pula. Orang-orang juga masih sedikit yang datang.

Aku menghembuskan napas dalam-dalam, segar, mendamaikan. Kemudian, aku mulai berlari. Santai, lalu ngebut. Santai lagi, lalu ngebut lagi. Mengelilingi taman alun-alun yang sangat luas ini.

Satu putaran. Tidak masalah.

Dua putaran. Aku sudah kelelahan. Wajah dan tubuhku basah oleh keringat. Tanganku bertumpu pada lutut dengan napas ngos-ngosan. Sialan, aku kehabisan oksigen, rasanya ingin mati saja.

Maaf, tapi aku hanya bercanda.

Sebetulnya aku haus, ingin minum. Tapi aku lupa bawa air minum. Gimana dong? Warung belum buka, apalagi si alfamart. Jelas belum.

Tak lama kemudian, kurasakan hodieku ditarik paksa dari belakang dan berlanjut pada air dingin yang tiba-tiba membasahi punggungku.

"Eh, anjir!!" Spontan punggungku menegak dan aku pun menoleh.

Sialan, si cowok aneh itu lagi. Dan apa-apaan dengan wajah tak bersalahnya? Tunggu, sejak kapan dia di sini?

Aku melirik benda di tangannya. Satu botol tupperware berwarna kuning transparan. Fiks, dia sengaja main siram punggung orang!

"Lo apaan sih?!! Woy basah tahu!"

"Capek, ya?" Dia malah bertanya dengan wajah tanpa ekspresi. Posenya tidak jauh beda seperti kemarin, mata menusuk tajam dan satu tangan tersimpan di saku celana. Bedanya, dia tidak berpijak di atas tanah. Tapi berpijak di atas hoverboard yang sangat terlihat mewah di mataku.

Suombang amat! Tanganku mendadak gatel, ingin rasanya nampol dia pakai sandal swallow-ku seperti kemarin.

Oh, iya, aku kan sedang tidak memakai sandal.

"Ambil. Buat lo." Aku mengernyit, menatap botol di tangannya yang menjulur di udara.

"Kamu siapa sih! Ngeri tau!"

"Lo nggak tau gue?"

"Buat apa? Situ orang penting?"

Cuma perasaanku saja, apa dia seperti menahan emosi? Maksudku, dia seperti ada perempatan imajiner siku-siku di sekeliling wajahnya.

"Lo capek! Lo haus!! Ini air buat lo reda. Ambil."

"Tapi akunya nggak mau!"

"Ambil!"

"Emoh!!"

"Lo kenapa sih!"

"Harusnya aku yang tanya! Kamu kenapa? Kamu siapa? Jangan gini!!"

"Udah ambil aja! Jadi cewek ribet banget dah!"

"Yeeuu ... Siapa ya, yang bikin ribet?"

"Cepet deh ambil!! Nggak usah sok kuat!!" Dia mendorong-dorong botol plastik itu. Memaksaku untuk menerima pemberiannya.

"Batu banget sih! Aku nggak mau dan aku bukannya lagi sok kuat!!"

"Ambil, nggak?" Kali ini dia sedikit tenang, tapi nadanya seperti mengancam.

"Nggak!! Jawab dulu pertanyaanku!!"

"Ambil!"

"Lo stalker, kan?! Penguntit cabul!! Iya, kan!?"

"Ambilll!!!"

"ENGGAK!!!" Aku membentaknya. Aku juga memelototi tepat di manik hitamnya. Dia terdiam, membuang muka, menghindari kontak mata yang kubiarkan cuma-cuma.

Tak lama kemudian, dia berdehem sambil menutupi mulutnya, "Gue ... pemimpin upacara. Puas?!"

Huh? Apa kata dia?

"Nama. Aku butuh nama."

"Serakah banget sih lo!!! Usaha kek. Cari tau sendiri!!!"

Harap bersabar, ini ujian, Park Jia. "Permisi, siapa deh yang sore-sore bawa bunga dan ngasihnya maksa? Siapa deh yang kasih cokelat pake cara brutal? Woy merinding tau nggak!" Aku tersenyum manis sambil mendelik.

"Apanya sih yang bisa ditakutin dari gue?!" Dia balik mendelik sekarang.

"Ngaca dong gimana kelakuan kamu. Cewek mana yang nggak merinding!"

"Jangan gitu!"

"Huh?"

"Lo jangan benci gue."

"Kamu ngomong apa deh?"

"Jangan takut sama gue. Lo harusnya luluh sama gue. Balik cinta karena gue cinta elo, Bangsat."

Aku mengernyit saraya melebarkan mata, dan lebih melebarkan mata kala tiba-tiba dia melempariku botol tupperware tadi, yang untungnya mampu kutangkap. Di saat yang sama, dia melaju cepat dengan hoverboard miliknya.

Apa?

Apaan sih?

Apaan sih dia!!

Aku menghentak-hentak aspal. Gemas lah! Dia nyatain cinta ke orang jones macamku. Sudah begitu, dia pula ngatain aku 'bangsat'. Dan parahnya, dia pergi sambil tertawa-tawa. Dan itu sangat keras. Membuatku jengkel apalagi saat melihat gayanya yang terlalu kepapanatasan.

Dia niat jogging apa pamer?!!!

Dasar sinting! Gila! Psikopat!

Aku berbalik, melangkah dengan kaki menghentak-hentak kesal. Saat ada sampah kaleng di depan, aku tak segan-segan menendangnya, lalu tersenyum miring, bangga karena kaleng itu sampai melambung tinggi dan berakhir mengenai kepala orang yang sedang duduk sambil meminum botol mineral.

Senyum ku pun menghilang.

Astaga. Mati aku.

"Anjir, kaleng siapa nih? Rese banget dah!" Dia mengumpat usai tersedak air minumnya. Dan kulihat, baju dia ikutan basah.

Aku meringis seraya meremas botol tupperware di tanganku, ingin berbalik tapi tidak jadi karena dia sudah tahu aku pelakunya. Terlihat sekali dari cara dia menatap tidak suka ke arahku.

"Elo, ya!!!?" Tanya lelaki berhodie dan bercelana serba hitam itu.

"Anu, maaf ka--"

"Iya! Gue!" Tunggu dulu! Suara ini ... Aku menoleh ke belakang dan tidak terkejut tatkala pria aneh itu hadir kembali. Sebal malah!

Pria serba hitam itu berdiri dan menghampiri kami, "Kalo lagi kesal nggak usah bagi-bagi dong. Gue kan yang kena batu nya."

"Maaf, gue sengaja tuh!" ujar si pria aneh kemarin sore.

Aku membulatkan mata, "Ngaco kamu. Sopanan dikit ngapa!"

Dan hanya direspon dengan satu alis terangkat. Au ah! Capek aku!

"Hngg, Kakak, ini salah paham. Dia mah ... Umm.. Aku juga nggak tahu siapa dia."

"Gimana, sakit, nggak?!" Oke, anak ini emang tidak ada sopan-sopannya. Siapa sih ibunya? Membuatku sebal saja.

"Kamu diem bisa??!!!" Aku membentaknya.

"Jadi siapa dah yang mau minta maaf?" si Kakak jadi kebingungan.

"Aduh, maaf, Kak. Bukan dia pelakunya. Tapi aku. Maaf, tapi aku tidak sengaja tadi." Usai mendongak ke pria aneh, aku mendongak lagi ke kakak tadi untuk memberi penjelasan. Jadi posisiku ada di tengah mereka. Dua pria kelebihan kalsium. Sama seperti kakakku, Kak Chanyeol. Dan aku membencinya. Itu wajar karena leherku mulai terasa sakit.

Apalagi dengan si anak aneh ber-hoverboard ini. Makin tinggi, kan, dia nya.

Kemudian, pria serba hitam tadi meneliti pria di sampingku. Pasti dia merasakan bahwa orang ini aneh. Jelas saja. Dia emang aneh.

"Lo anak TKJ itu, kan? Yang suka mimpin upacara bendera."

Oh, ternyata tidak.

"Loh, kakak kenal dia? Kakak anak stm dong?"

"Lo nggak kenal gue?"

"Emang mesti kenal gitu, ya?"

"Ya karena gue salah satu orang penting di stm."

Oke, bau-bau pamer nih.

"Oh, gitu, ya?" Aku menyelipkan anak rambut ke belakang telinga, jujur, aku mulai tidak nyaman.

"Mau kenalan nggak nih?"

"Enggak deh kayanya." Aku meringis.

"Kok gitu sih?"

"Ya emang gitu kok."

"Nggak usah maksa deh. Dia nya nggak mau, bego." Si pria aneh membelaku. Tidak kaget sih. Mungkin sudah biasa. Karena aku tahu, 100% hidupnya dipenuhi hal-hal di luar dugaan.

"Enggak, enggak tuh. Tadi bercanda." Maaf, aku memang sedang berbohong. Aku sedang tidak ingin mengenal siapa-siapa. Aku hanya ingin cepat-cepat kabur dari situasi ini. "Jadi nama kakak siapa?"

"Lo golput ya pas pemilihan ketos?"

"Oh, jadi kamu ketua osis?"

Anak pejabat rupanya. Tidak heran sih. Dia ganteng gitu. Tipe orang yang suka ambil keuntungan punya muka tampan. Yeah, pasti yang milih dia sebagian besar cewek-cewek.

Ah, kenapa aku jadi berpikir negatif gini?

Kenapa, ya? Rasa-rasanya hari ini pada suka pamer jabatan. Si pemimpin upacara dan si ketua osis. Mereka kira aku bakal kagum apa?

"Kang Daniel." Dia memperkenalkan diri, tangan dia pun terjulur.

"Park Jia." Aku mengulur tanganku dan ditepis galak oleh pria di sampingku. Sialan dia, tangan kita bahkan belum bersentuhan. Oke, sekarang aku memelototinya. "Sopan dikit, bisa? Mau nggak mau kamu harus mau!"

"Udah kenal kan? Ayo pergi."

Benar-benar-pria-menyebalkan.

"Permisi, bisa pulang sendiri tuh." Celetukku acuh. Dia sok akrab sekali. "Kak Daniel, aku pulang dulu, ya. Panas."

Aku tersenyum ramah kepadanya. Entah itu terlihat tulus atau tidak, yang penting aku sudah berusaha. Karena sejujurnya, aku tidak betah berlama-lama di antar dua pria tukang pamer ini.

Aku berjalan cepat meninggalkan mereka. Berjalan, berjalan, dan berlari.

Saat aku tiba di parkiran, kesialanku lagi-lagi datang. Ban sepedaku menyusut. Entah itu bocor apa hanya benar-benar kempes, tapi hal itu sangat memengaruhi moodku. Bengkel jauh, dan aku sudah terlalu malas menuntunnya ke sana.

Aku duduk lesehan di samping sepeda, meminum sejenak air pemberian pria gila tadi. Tapi faktanya air saja tidak cukup, aku lapar, jadi kuputuskan untuk membeli sesuatu untuk mengganjal perut.

Aku kembali ke jalanan dekat taman. Sadar atau tidak, pedagang kaki lima sudah mulai banyak yang mangkal. Dan bubur ayam lah yang akan jadi pilihanku.

Tapi belum sempat aku sampai, tiba-tiba kurasakan sebuah lengan yang melingkar dan menarik leherku, aku tercekik karena pria gila itu memaksa tetap berjalan di atas hoverboard-nya.

"Eh, gila lo bangsat anjir, gue kecekik!" Makiku sembari berjalan tergesa, menyeimbangkan laju hoverboard-nya.

Oke, aku benar-benar ingin menangis. Ya, Tuhan, kenapa hidupku jadi sial sekali? Aku ada salah apa dah?

"Kamu siapa sih!! Kalau pengen dekat denganku kasih tahu dong nama kamu. Jangan malah ngerjain aku mulu. Aku ada salah apa sama kamu? Ngomong!! Mana bisa aku memperbaiki kesalahanku jika kamu diam saja? Dan jangan menatapku seperti itu!!"

Aku benar sudah menangis, menangis yang hanya tertahan di pelupuk mata. Dan kali ini aku ingin merengek, sebal dan gemas dengan perlakuan anak manusia yang satu ini. Ingin memaki atau melenyapkan saja sekalian ke dalam sungai. Tapi aku sadar, itu hanya orang psikopat yang melakukannya.

"Sakit, ya? Maaf dah."

"Iya! Aku maafin. Jadi please. Jangan ganggu-ganggu lagi. Jangan anarkis seperti tadi. Aku ini cewek."

"Maaf."

"Iya, oke! Udah! Bye! Aku capek!" Aku benar-benar pergi melenggang dengan penuh emosional. Dan untungnya, dia tidak lagi mengejar. Dan aku tidak jadi makan. Biar saja perut ini kelaparan, karena memang sudah tidak mood lagi.

Aku mengusap kasar air mata sialan ini. Bisa-bisanya aku menangis karena seorang cowok. Padahal dia bukan cowokku. Bukan kekasih atau orang penting dalam hidupku.

Selama ini aku jarang sekali menangis bahkan ketika ibuku meninggal 5 tahun yang lalu, atau ketika kak Jaehyun digosipin punya tunangan, atau ketika aku tahu kak Chanyeol pernah sengaja mencampuri udang dalam sarapanku agar aku tidak sekolah karena alergi. Agar kak Chanyeol ada yang menemaninya di rumah sebab dia suka parno usai nonton horor malam-malamnya. Terdengar tidak gantle memang. Tapi begitulah kak Chanyeol.

Dan yang kupikirkan sekarang adalah pulang tanpa ada beban. Maka, ponsel segera aku keluarkan untuk mendial kontak sahabat karibku.

Seperti biasa, panggilan akan selalu diterima pada dering pertama. Aku berdehem sebentar untuk memperbaiki suaraku.

"Sungwoo, jemput dong! Urgent nih. Aku mau diculik orang ganteng masa!"

"Woy, jangan halu dah. Masih pagi!"

"Dih, kagak percaya. Aku ilang kamu ya yang tanggung jawab ngadu ke kak Chanyeol."

"Ah, iya deh. Oke oke. Share lokasi buru!"

"Yokaiiyy!!"

Dan panggilan pun ditutup. Aku terpaksa berbohong. Karena sudah tidak tahu lagi ingin berkata apa. Sahabatku Sungwoo kalau tidak diancam juga tidak akan mau menjemputku.

Yeah, jadi beginilah kehidupanku.




Bersambung ...
© Putri Auliya Safitri,
книга «TEMPERAMEN».
Коментарі