Prolog
Episode 1
Episode 2
Episode 3
Prolog
Hari ini adalah hari Jumat. Biasa, pulang awal. Tapi sayangnya aku tidak, aku masih ingin duduk diam di sini.

Di kelas ini.

Di dalam gedung sekolah lantai tiga.

Tapatnya, di meja terdepan dekat jendela. Menikmati alunan musik yang keluar dari aerphone putihku. Sendirian. Bodo amat!

Untuk info saja, gedung sekolahku lumayan besar, mempunyai 3 lantai yang memutari lapangan. Lantai satu untuk anak kelas 12. Lantai dua untuk anak kelas 11, lalu terakhir lantai tiga, lantainya para junior sepertiku, kelas sepuluh.

Aku malas pulang. Bukan karena aku korban broken home. Bukan. Tapi lebih karena malas punya kakak suka adu mulut sama anak tetangga. Percayalah, rumah tidak akan pernah tenang jika ada Kakakku di sana, Kak Chanyeol. Apalagi jika sudah disandingkan dengan Kak Yoona. Wuh, Berisik. Mereka ngakunya sahabat tapi kadang terlihat lebih dari pacar. Tau deh. Bucin emang.

Sekedar basa-basi saja, namaku Park Jia, kelas 10 SMK jurusan Teknik Gambar Bangunan. Jangan kalian pikir aku adalah perempuan yang jago menggambar. Kalian salah. Boro-boro deh, menggambar saja masih sebatas dua gunung, satu jalan, dan sawah-sawah.

Bisa dibilang, aku ini salah ambil jurusan. Aku juga tidak tahu kenapa, tapi yang jelas, motivasiku sekolah di sini adalah karena ada seseorang yang kusuka.

Jung Jaehyun. Itulah namanya. Dia ada di kelas 11 jurusan Teknik Komputer dan Jaringan. Satu-satunya jurusan yang terkenal dengan anaknya yang pintar-pintar, rajin, kalem, kompak, tidak banyak ulah, dan surganya cogan dan cecan. Nah, kalau jurusanku justru sebaliknya.

Bobrok.

Yeah, begitulah, satu kata yang mampu mewakili semuanya.

Sejujurnya, aku bukan perempuan mellow, tapi aku tidak menyangkal bahwa yang sedang kulakukan sekarang adalah bertopang dagu menatap seseorang dari balik kaca, mengagumi dia kala latihan bola basket bersama geng-nya. Kak Jaehyun, satu-satunya alasan mengapa aku selalu betah tidak pulang ke rumah.

Bruk!

Aku terlonjak kaget. Tiada hujan tiada badai, satu ikat mawar putih ukuran jumbo dijatuhkan tepat di atas mejaku.

Eh, apaan nih?

Aku mengerutkan dahi, lalu mendongak?

Seorang pria tak dikenal. Berambut hitam sekelam malam, berahang tegas pula dengan mata menyorot tajam. Dia memakai kaos putih. Sementara seragam dia biarkan terbuka, tidak dikancing. Bahkan name tag nya pun tidak ada. Berandal, huh?

"Buat lo." Mulainya dengan wajah poker. Caranya menatap adalah cara bagaimana orang yang sedang menahan amarah.

"Maaf, kamu siapa deh?"

"Orang!"

"Etdah, nama. Nama kam--"

"Nggak penting!!! Cukup terima itu bunga!!" Aku berjengit halus dengan nada suaranya. Dia membentak bahkan disaat kita baru berjumpa. Ini orang kenapa deh? Kenal saja tidak.

Aku melirik badge simbol jurusan di baju lengan kanannya. Sebelas Teknik Komputer dan Jaringan. Ah, kakak kelas rupanya.

"Kamu aneh, ya? Mana mau aku terima."

"Terima aja, dih!!!" Dia meraih kembali buket itu dan membantingnya tepat di wajahku. Lagi-lagi aku kaget dengan perlakuan anarkis barusan. Apa? Dia marah?

Dan setelah itu, dia pergi begitu saja dengan kedua tangan tersimpan di saku celana.

"Woy, maksudnya apa nih?" Aku berteriak di posisiku. Tapi dia tetap melenggang tak memedulikan. Sialan.

"Apaan sih! Gabut banget dah." Dahiku berkerut dalam-dalam. Jelas saja aku kebingungan. Maksud dia apa coba? Ada, ya, orang kaya gitu?

Jika ini dalam drama, mungkin saja dia suka padaku. Atau mungkin dia terjebak taruhan karena permainan bodoh bersama geng-gengnya. Atau bisa saja dia orang suruhan dari orang yang benar-benar suka padaku. Tapi bagaimana bisa itu terjadi? Aku bukan orang penting yang bisa dibuat sasaran dalam drama rendahan semacam itu.

Duh, aku kacau.

Aku melirik bunga pemberiannya. Dekorasinya sangat cantik. Ada bunga baby birth dan daun pakis kering di sela-selanya, yang dijadikan satu dengan sehelai pita merah muda. Meski aku menyangkal bahwa aku sedikit senang, tapi tetap saja aku perlu waspada.

Kutatapi lama bunga mawar itu, lalu menyentuh lembut rekahan kelopaknya. Menghirup dalam aromanya. Harum, cantik pula. Sayang sekali pemberinya harus pria brutal kaya dia. Orang aneh. Gila pula.

Tapi, mau aku apakan bunga ini?

Buang?

Sayang!





Bersambung ...
© Putri Auliya Safitri,
книга «TEMPERAMEN».
Коментарі