Prolog
Episode 1
Episode 2
Episode 3
Episode 2
"Udah mendingan?"

Dia mengangguk. Syukurlah jika begitu.

"Kamu jawab deh. Motif kamu giniin aku apa?"

Dia tidak langsung menjawab. Melakukan pergerakkan pun tidak. Hanya bertopang dagu sambil menatapku dalam, membuatku tidak nyaman.

"Kamu datang tiba-tiba, padahal libur sekolah. Kalo bukan ada maksud terselubung lalu apa coba?"

Dia masih bergeming. Alis kanannya sedikit terangkat. Aku menghela sabar.

"Gini deh. Kalo kamu sengaja deketin aku karena ingin manfaatin aku, ayo ngomong, kita bicarakan. Mungkin aku bisa bantu. Dan jangan diem aja dong! Kan bingung aku nya."

Aku balas menatapnya, menunggu jawabannya. Mula-mula dia hanya mengetuk-etuk pipi. Lalu tangan itu perlahan terjulur untuk menyomot bibirku menjadikannya seperti bebek.

"Cerewet," ucapnya datar.

Anjir, nih, orang!! Anak siapa sih dia!

Aku spontan melotot tajam seraya menendang kuat kakinya. Dan tangan dia reflek terlepas.

"Ngeselin banget dih!! Aku ngomong bener-bener woy!" Aku memukul-mukul meja seraya berteriak gemas.

"Reaksi lo juga!" Dia balas menendang kakiku, ujung sneakers dia menghantam tepat di tulang keringku.

"KOK MALAH DENDAM GITU SIH!" Jangan katakan aku adalah cewek brutal, tapi aku sungguh sedang mencubit kulit lengannya. Kau tahu? Cubitan kecil yang sakitnya bukan main. Apalagi aku lupa potong kuku. Nah, kan, dia meringis kesakitan. Puas deh.

"Sakit kampret!"

"Bodo amat kampreet!!"

"Jia, kunaon teh? Maneh kampret-kampret." Dan sosok penengah pun tiba. Itu kak Taeyeong. Astaga, dia hari ini beda sekali. Dia memakai jins hitam dengan kaos hitam yang dirangkap kemerja kotak-kotak, dan dirangkap lagi dengan jaket berbahan denim. Macthing sekali dengan rambutnya yang hitam berumbai-rumbai. Jadi, ke mana perginya kak Taeyeong yang suka sarungan itu?

"Kok diem?"

"Oh?"

Kak Taeyeong membuat wajah bertanya. Dan lamunanku pun terbuyarkan.

"Kak Taeyeong mau ke mana deh?"

"Mau goreng tempe, Ji."

"Nyetil banget dong bajunya."

Kak Taeyeong terkekeh renyah. Menulariku juga. "Lagi rajin mandi. Biasanya kan---"

"Masih muka bantal langsung tancap gas gitu ya?"

"Emang paling ngerti kamu tuh!"

Dan aku pun terbahak dengan tangan menutupi mulut terbukaku, namun itu harus terpotong karena pria rambut kelam sekelam malam itu mendadak berdiri, berjalan mendekatiku, lalu menarik tanganku tiba-tiba.

Aku sontak berdiri paksa dan terseret oleh langkah tergesa dia.

"Eh, Ji, mau ke mana?" Kak Taeyeong yang ditinggalkan tanpa permisi itu pun langsung berteriak di belakang sana. Aku menoleh untuk melihat wajahnya. Dia membuat ekspresi kecewa, persis seperti anak anjing yang ditinggalkan majikannya. Meskipun ini akan terdengar sedikit narsis, tapi aku yakin dia tidak rela aku pergi. "Ini belum dibayar woyy!!"

Well, tidak juga. Rupanya kakak kelas itu tidak mau rugi. Oke, sebenarnya aku ingin pura-pura tidak dengar, tapi kesannya akan terlihat sangat jahat jika begitu.

"Bilangin ke bu Irene, aku utang dulu." Sembari berjalan menjauhi kantin, kutanggapi asal pertanyaan kak Taeyeong. Tapi memang begitu, aku belum bayar makananku.

Kala kantin tidak lagi terlihat, aku bertanya sebal ke manusia setan yang satu ini, "Kamu apa-apaan sih!" Tapi dia malah semakin menarik kuat tanganku. Dan itu sakit rasanya. Tetap bersikukuh menarikku di sepanjang koridor sekolah.

"Eh woy, tuli ya?" Aku menyentak genggaman dia, menghentikan langkahnya secara paksa. Sudah tidak tahu lagi aku. Ingin marah tapi rasanya percuma. "Mau kamu apa!!"

Dia tidak menjawab, bahkan berbalik untuk melihatku saja tidak.

"Ya ampun, aku kenal kamu aja enggak. Kenapa sih mesti terjebak bareng orang kaya kamu!"

"PILIH GUE APA DIA?!" Dia mendadak beralik, menerjangku dengan cengkeraman di bahu, membentakku, dan bentakkan itu membuatku tergugu sejenak. Ekspresinya menakutkan. Dia marah, aku tahu. Tapi kenapa?

"Ka-kamu ... suka ya sama aku?" Bukannya terlalu percaya diri, tapi memang itu yang mampu kupikirkan.

"Goblok." Umpatnya agak samar. Cengkeraman tadi terlepas. Spontan aku mendongak untuk melihat wajahnya. Dia nampak memijat pelipis, rahangnya pun ikut mengeras.

"Mau kamu apa sih?"

Dia berdecak, lalu meninggalkan aku yang masih bertanya-tanya. Sialan.

Tanpa pikir panjang, aku melepas dan melempari dia dengan sandalku. Targetku adalah kepalanya tapi karena dia tiba-tiba berbalik, maka wajahnya lah yang kena.

"Oopss." Aku mati kutu.

Dia mendadak berjalan cepat ke arahku, "Ikut gue!" dan menarik hodie putihku ke depan sampai aku dibuat berjalan membungkuk-bungkuk karena ulahnya.

"Woy woy woy woy!!! Lepas geh lepas!!"

Sudah kubilang, anarkis banget dia tuh!

Namun belum ada sepuluh detik, langkah lebarnya terhenti. Tentu saja aku yang tidak siap harus menabrak punggungnya.

"Aw! Kali ini apa!!"

Aku meninju sekali punggungnya. Gara-gara dia, rambutku jadi berantakan. Tapi anehnya, dia diam saja. Hanya mematung dengan mata lurus ke depan. Penasaran, aku mengikuti arah pandangnya.

Di sana, Jeno, Mark, Lucas, Haechan, Chenle, dan Renjun nampak berjalan angkuh dari tengah lapangan bagai adegan dalam drama-drama.

Mereka meninggikan dagu sementara angin mengibaskan rambutnya. Membuat tatapan dingin sementara tangan tersimpan di masing-masing saku celana. Sialnya background sekolah ini cocok sekali dengan para cowok pembuat onar itu.

Entah kebetulan atau memang sengaja, pakaian mereka sedikit berlebihan untuk ukuran siswa yang hendak mengejar deadline gambar. Kebanyakan didominasi jins hitam berantai dan kemeja panjang yang dirangkap asal dengan sweater oversize. Namun ada juga yang memakai masker hitam, kupluk, bandana, dan topi yang ditutup dengan hoddie tebal. Padahal aku yakin matahari sedang terik-teriknya.

Aku berdecih. Berdecih yang benar-benar berdecih. Apa, ya? Mereka seperti sengaja berbangga diri memiliki wajah tampan. Seperti ingin unjuk diri bahwa mereka adalah kumpulan cowok terkeren di sekolah ini, alias tebar pesona! Yeah, kecuali Renjun. Penampilan dia agak kalem.

Orang yang melihat pasti berpikir mereka adalah anak-anak boyband yang tidak terkenal. Huh, tapi mereka kurang beruntung. Sayangnya di sini hanya ada aku dan si cowok brengsek di sampingku ini. Hahahaha ...

"Waktu gue abis. Lo jaga diri, ya?" Sibuk tertawa jahat, aku tidak memerhatikan cowok aneh ini membuka suara.

"Eh, gimana? Gimana?"

"Masih ada hari besok kok." Pria aneh itu melenggang santai usai mengacak-acak rambutku, berjalan sambil bersiul-siul.

Aku mengernyit terheran-heran. Aku tidak masalah dia mau pergi atau tidak. Yang aku masalahkan adalah apa-apaan dengan kalimat terakhirnya? Itu seperti akan ada pertemuan selanjutnya dengan cowok sialan seperti dia. Anjir, aku nggak mau!

"Hoii mbak Jiaa ... " Ah, aku benci mengatakannya, tapi aku benar-benar tidak suka panggilan itu. Dasar si Markus!!

"Udah nunggu lama Bu Haji?" Ini lagi si Haechan.

"Sorry deh bikin you very rindu ke kita-kita."

Uwekk. Tau dong siapa orangnya.

"Kalian sendiri ngapain!! Mau ngerjain tugas apa debut!!"

"Wohohoyyy hobi mbak kita ngegas terus dong!" balas Haechan, meninju dan merangkuli sebagian pundakku. Kebiasaan wajar antar pria. Ya, mungkin juga Haechan sudah menganggapku sebagai spesies yang sama dengannya. Tidak apa-apa. Sesuka dia saja. Aku sudah terbiasa. Tapi aku tidak terima!!!

"Permisi, itu tangan lo ganggu banget deh."

"Oh, sorry. Sengaja."

Menyebalkan.

"Jia, saha eta? Yang barusan pergi?" Renjun bertanya sembari menilik sesuatu di belakangku, seseorang yang belum jauh dari tempat kita berdiri.

"Kecengan baru yeaaa?" Tanya Chenle, membuat raut tersenyum mengerikan seperti Joker di film-film.

"Udah nyerah dong sama si Jaehyun?" Jeno yang tipe pemalas dalam segala hal pun ikut-ikutan mendesakku.

"Orang dia kagak pernah dinotice geh!" Haechan tertawa. Yang lain hendak mengikuti jejaknya. Tapi karena mataku mengeluarkan laser, mereka tidak jadi tertawa. Termasuk Haechan sendiri.

"Mau ngerjain tugas nggak nih!!?"

"Mau!!" Balas mereka serempak.





Berambung ...
© Putri Auliya Safitri,
книга «TEMPERAMEN».
Коментарі